Saturday, 10 January 2009

Profil Pekerja Anak Di Jalanan oleh Maria Oktavia




No one shall be held in

slavery or servitude:

Slavery and the slave trade shall

be prohibited

in all their forms.

(Universal Declaration of Human Rights)

Surabaya, 28/11- Suatu siang di terminal Joyoboyo di seputar trem gang Kelinci, Novi (16th) bersama beberapa teman perempuannya bekerja di dalam bis-bis kota jurusan Bungurasih-Perak dari pagi sampai pukul tiga sore. Siapa sangka pada malam harinya Novi dan teman-temannya harus menjadi pelacur-pelacur cilik yang khusus melayani orang-orang seputar Joyoboyo.

Biasanya langganan mereka adalah sopir bemo, kenek, tukang becak, dan preman setempat. Dengan uang setoran perhari 35.000, Novi dan teman-temannya hanya mendapat uang 5.000 rupiah saja tanpa pesangon atau tips dari orang yang memakai mereka. Setoran itu dikelola oleh preman Joyoboyo. Ancaman fisik pun sering dialami mereka, tak jarang tubuh mereka dipenuhi oleh lebam-lebam biru bila uang yang mereka berikan kurang. Belum lagi perlakuan dari pelanggan yang kadang tak layak, harus mereka terima.

Novi adalah salah satu gambaran anak jalanan yang konon menurut survey mencapai sekitar 5 ribu lebih. 10% diantaranya adalah anak perempuan yang memiliki resiko bahaya lebih berat dan memerlukan perhatian khusus.

Seperti yang diungkapkan oleh Desti Murdijana (1998), tidak jarang anak perempuan jalanan yang terlanjur hamil, memilih menyelesaikannya dengan cara aborsi yang jauh dari kelayakan medis dab cebderung mengabaikan keselamatan jiwa. Pada situasi tertentu mereka juga rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS ataupun penyakit menular lainnya seperti Hepatitis C, TBC dsb.

Pengalaman lain menyebutkan anak-anak jalanan di pusat kota terutama di kota-kota besar mengalami hal serupa dengan tingkat bahaya yang lebih tinggi. Mereka umumnya adalah ABG dengan usia berkisar antara 14-18 tahun. Keberadaanya di jalanan tampak berbeda dengan anak jalanan lain. Menarik, cantik dan pandai bergaul namun kenyataannya mereka sangat tergantung pada obat-obat terlarang (naza) semisal ineks, shabu-shabu, putaw (heroin), dan extacy. Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seperti tas, sepatu, baju, make up, dan naza tersebut mereka terpaksa bekerja sebagai pelacur jalanan dengan tarif yang lebih mahal daripada tarif di lokalisasi yaitu minimal 150 ribu dibanding 50 ribu pershort time.

Beberapa faktor penyebab mereka terjerumus dalam dunia pelacuran jalanan adalah faktor ekonomi, tekanan keluarga dan kekerasan/ penyalahgunaan seks. Alasan itu yang membuat mereka lari dari rumah dan terperosok dalam dunia obat yang gampang didapati di pusat keramaian seperti Diskotik dan Mall. Disinyalir di tempat-tempat seperti inilah sekelompok pemuda tampan berduit akan menerima dengan tangan terbuka keberadaan mereka.

Kondisi buruk juga dialami mereka sebagai pendatang baru seperti yang dialami Rini (16th) asal Batam, pertama kali minggat langsung ke Delta Plasa, Surabaya tempat berkumpulnya pemuda tampan yang menurutnya adalah teman-teman yang mengerti masalahnya. Dengan alih perlindungan, kasih sayang dan persaudaraan Rini akhirnya diperawani oleh salah satu pemuda dalam kelompok Delta Plasa, sampai akhirnya hampir semua pemuda dalam kelompok tersebut pernah mencoba tubuhnya. Sampai saat ini Rini telah menjadi bagian dari penjaja seks di jalanan bersama anak-anak perempuan lainnya. Akibatnya anak-anak perempuan yang dijajakan tersebut menjadi bagian dari kebutuhan obat terlarang yang keberadaannya dikendalikan oleh sekelompok pemuda tadi.

Kondisi dan Masalah yang terjadi Dengan Anak Dalam Bekerja

Kejadian-kejadian memprihatinkan terjadi selama mereka di jalanan sebagai pelacur. Kejadian pelecehan, kekerasan, sakau, overdosis, penggerebekan bahkan penipuan oleh para tamu juga terjadi.

Pelecehan seksual seringkali dilakukan oleh oknum polisi, ketika penggerebekan berlangsung mereka tidak diinterograsi tetapi malah diminta untuk ngeseks gratis. Jika mereka menolak mereka diancam akan ditembak atau dibuang ke rumah tahanan perempuan. Kalau tidak mereka juga dirayu, dipegang-pegang buah dadanya dan kadang para polisi tersenut meminta obat yang biasa mereka pakai bersama. Beberapa diantara mereka tidak diterima kembali oleh keluarga, karena keluarga mereka terutama adik-adiknya mendapat hinaan dikampung mereka. Hal ini terjadi ketika berita mengenai hal ini muncul di koran harian, sekaligus wajah dan nama mereka. Sangat tidak etis memang namun ini benar-benar terjadi.

Pemukulan, pemaksaan, dan penusukan terjadi apabila anak-anak dirasa melanggar peraturan jalanan, misal menerima tamu tanpa germo, pindah germo tanpa perjanjian dan kadang dilakukan oleh pacar sekaligus merangkap germo apabila sang pacar cemburu, melanggar jam booking dan setoran kurang.

Puncak kemarahan, ketakutan dan kefrustasianpun mereka keluarkan ketika sedang overdosis. Tidak mau ditolong, dan mencercau ingin mati adalah hal biasa yang dihadapi yayasan ALIT, yayasan yang seringkali menkonseling anak-anak jalanan perempuan di Surabaya. Menurut mereka selama ini belum ada satupun dari anak-anak melakukan pengobatan atas ketergantungan terhadap obat ini. Mereka hanya membantu melakukan konseling ketika mereka sedang tenang, dan hal ini ternyata efektif untuk membantu psikologis mereka dan mengurangi frekuensi pemakaian drug.

Sampai saat ini keberadaan anak-anak perempuan yang dilacurkan semakin tumbuh pesat bersama dengan menjangkitnya jenis naza yang makin mudah mereka peroleh dari lokasi mereka mangkal.

Melihat latar belakang diatas rasanya sangat perlu diadakan penanganan khusus anak-anak perempuan yang dilacurkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul seperti terlanggarnya hal perlindungan anak, hak tumbuh kembangnya, hak partisipatifnya, bahkan hak kelangsungan hidupnya karena ancaman PMS – HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.

Tentu saja kita tidak bisa saling menuding siapa memperkerjakan siapa dan siapa diperkerjakan siapa kalu ini menjadi titik masalah pekerja anak. Bukan berarti kita terus berhenti ketika kita tidak mampu menemukan siapa memperkerjakan siapa, tetapi harus lebih dalam memahami akar persoalan yang muncul dari sebab usabab kenapa mereka dilacurkan.

No comments: