Friday 9 January 2009

Berharap Hujan Emas di Negeri Orang oleh Airin Aprila

Ingin memperbaiki nasib. Tapi derita yang didapat. Ada yang disiksa, banyak yang tertipu.

Ida Maulida hanya bisa meratapi nasib. Wajah dan dua telapak kakinya masih lebam karena pukulan. Luka bekas sundutan besi panas juga menganga di kedua lengannya. Kepalanya pun kini dihiasi sejumlah jahitan.

Badannya kurus, tatapannya kosong. Jika mengingat kekejaman yang mendera, Ida tak mampu berbicara. Air matanya menetes mengabarkan segala nestapa. "Saya menyesal ke sana kalau tahu bakal disiksa," katanya saat ditemui Voice of Human Rights di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu.

Mimpi buruk itu berawal ketika Ida bekerja sebagai pembantu di Arab Saudi. Tugasnya sehari-hari menyapu dan mengepel lantai. Sayangnya dia bekerja pada majikan yang ringan tangan. "Kalau salah dikit saja, dipukul pakai apa saja yang ia pegang," kata gadis berumur 17 tahun asal Pekalongan ini.

Ida mengalamai siksaan itu sejak pekan-pekan pertama bekerja di Negeri Petrodolar itu. Ia tak tahan hidup dalam siksaan, tapi tak kuasa kabur dari "neraka" itu. "Aku cuma bisa menangis," katanya.Setiap kali habis menyiksa, majikan itu selalu mengobati luka Ida. Mereka juga selalu membayar gaji bulanan Ida 600 riyal, setara Rp 1,2 juta. Anak kedua dari lima bersaudara ini tidak betah bekerja di rumah majikannya. Ia terus merengek minta dipulangkan. Setelah hampir enam bulan bekerja, akhirnya Ida diizinkan Ida pulang ke tanah air. Dia dibelikan tiket pesawat pulang-pergi agar mau kembali. "Saya kapok, enggak mau balik lagi. Saya mau kerja di rumah saja," ujar Ida.

Kini Ida sudah di tanah air. Tapi kantongnya kosong. Gaji dari majikannya harus diserahkan kepada calo yang mengirimnya ke Arab Saudi, PT Berkayu. Berdasarkan perjanjian dengan perusahaan yang berdomisili di Yogyakarta itu, Ida harus menyerahkan gajinya selama satu setengah tahun. Katanya, uang itu merupakan pengganti ongkos perjalanan dan pendidikan. Padahal enam bulan silam, Ida berangan-angan bekerja ke luar negeri agar bisa membantu ekonomi keluarganya. "Makan sehari-hari nggak cukup," katanya. Bapaknya, Marjuk, hanya bekerja serabutan. Kadang berdagang kecil-kecilan. Kadang menjadi buruh bangunan. Sedangkan ibunya hanya ibu tumah tangga. Ida meminta restu kepada ibunya untuk mengadu nasib.

Menurut Miftah, aktivis SBMI, kasus penganiayaan dan penipuan calon tenaga kerja terjadi karena perlindungan pemerintah amat lemah. Ia juga menyalahkan minimnya peran pemerintah dalam merekrut calon tenaga kerja. "Posisi tawar mereka lemah."

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Muhammad Jumhur Hidayat, mengakui banyaknya kekerasan yang dialami buruh migran karena proses penempatan kurang sempurna. "Kalau mereka harus dilatih selama 21 hari, ya dilatih selama 21 beneram, jangan hanya tiga hari. Kami sedang menertibkan," kata Jumhur.

Siksaan membuat buruh migran tak hanya mengalami penderitaan fisik, tapi juga psikis. Menurut data International Organization for Migration (IOM), Maret 2005 hingga Juli 2006 terdapat 1.291 orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah tersebut 24% mengalami depresi, 22% mengalami gangguan mental, dan 19% sakit jiwa.

1 comment:

Dr. louis said...

Nama saya Doctor Philipson seorang nephrologist dan direktur medis utama di ST. LOUIS INDIA. Apakah Anda ingin menjual ginjal Anda? Apakah Anda mencari kesempatan untuk menjual ginjal Anda untuk uang karena istirahat keuangan turun dan Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan, kemudian hubungi kami hari ini melalui dr.louisclinic@gmail.com atau hubungi: +918870421469 dan kami akan menawarkan baik jumlah untuk Ginjal Anda
HARGA: $ 145,000USD