Bayi-bayi dijual dengan harga Rp 3-5 juta. Oleh si pembeli bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Ada dugaan, setelah beranjak remaja ia dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Kalau dugaan itu sungguh terjadi, benar-benar sangat memprihatinkan. Praktek jual beli organ tubuh juga diindikasikan dari cerita Manimbul Sitorus yang istrinya mengalami gagal ginjal. Istri Manimbul Sitorus, Nurbaya Sinambela (38) meninggal dunia tanpa penanganan yang baik di rumah sakit. Nurbaya Sinambela dirawat di ruang Cempaka kamar 4 RS Persahabatan pada 20 Mei 2003 karena menderita gagal ginjal.
Awalnya, setelah menjalani perawatan selama 2 minggu di RS, ibu 3 anak ini diizinkan pulang. Baru 4 hari berada di rumah, penyakitnya kambuh lagi. Manimbul kemudian membawa istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo pada 12 Juni 2003. Dokter di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit tersebut setelah melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa Nurbaya mengidap penyakit gagal ginjal. Keesokan harinya sekitar pukul 01.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB ada seorang dokter berinisial N yang bertugas di ruang UGD menghampiri kakak ipar Manimbul. Saat itu dia sedang tidak berada di ruang UGD karena sedang ke apotik membeli obat untuk suaminya. Lewat kakak iparnya, Manimbul dipertemukan dengan dokter N.
Dalam pertemuan tersebut dokter N mengatakan bahwa istrinya hanya bisa ditolong dengan dua cara. Pertama, istrinya ditolong dengan cara dioperasi yang memakan biaya Rp 500 juta. Kedua, cuci darah. Menurut dokter N biaya cuci darah lebih mahal dari operasi. Cuci darah dilakukan dua kali seminggu dan sekali cuci darah memakan biaya Rp 700 ribu. Bila kondisi istrinya sudah membaik, cuci darah bisa dilakukan seminggu sekali dengan biaya Rp 500 ribu dan cuci darah ini dilakukan seumur hidup.
"Bapak punya uang Rp 500 juta, gak. Kalau ada, kita akan melakukan operasi ginjal sehingga istri bapak bisa sembuh. Bapak boleh pilih mau operasi atau cuci darah," ujar Manimbul menirukan ucapan dokter N. Warga Kampung Rawadas Jakarta Timur ini berembuk dengan keluarga. Hasil rembukan dengan keluarga, istrinya harus dioperasi. "Belum sempat menjalani operasi, istri saya meninggal dunia pada 15 Juni 2003 tanpa adanya upaya apa-apa dari pihak rumah sakit," lanjutnya kepada SH. Sekretaris Pendiri LBH Kesehatan Jan Pahala mengatakan dalam kasus Manimbul ini, memang sudah ada indikasi jual beli organ tubuh dalam hal ini ginjal.
"Dokter N menawarkan suami pasien, apakah istrinya dioperasi atau cuci darah. Operasi dengan biaya Rp 500 juta selain melakukan transplantasi juga menggantikan ginjal yang rusak dengan ginjal baru. Otomatis sudah ada indikasi jual beli organ tubuh manusia. Di Cina saja harganya hanya 23 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 225 juta," ujarnya. Pahala sendiri tidak mempersoalkan adanya transplantasi ginjal, asalkan hal itu tidak dikomersialkan.
Menurutnya, donor organ tubuh bisa dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan bukan untuk dikomersialkan. Sulitnya, antara pendonor dengan resipien ada perantara. Perantara inilah yang biasa bertindak sebagai makelar menjual organ tubuh manusia guna memperoleh keuntungan yang besar. Hal itu terjadi karena pemerintah Indonesia belum memiliki pengaturan hukum yang jelas. "Orang-orang seperti dokter N hanya memanfaatkan celah hukum. Ketika negara melarang hal itu, orang bisa lari ke Tiongkok atau India untuk membelinya," lanjut Pahala.
Hal senada diakui oleh dr Djaja S Atmadja, Staf Pengajar Bagian Forensik Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Mereka yang bertindak sebagai makelar bisa melibatkan para medis seperti dokter dan juru rawat, bisa juga berasal dari non medis seperti tentara dan sebagainya. Menurutnya, jual beli organ ini sebetulnya sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1990. Djaja menambahkan, pasien yang menderita ginjal sangat banyak, namun ginjal yang tersedia sedikit. Sementara mengambil ginjal dari mayat tanpa identitas juga tidak dapat dilakukan karena ada keterbatasan. Pertama, untuk mengambil salah satu organ tubuh dari mayat tanpa identitas, pihak medis harus memperoleh ijin dari ahli waris.
Hal itu memerlukan waktu yang lama, sedangkan organ yang diambil memerlukan waktu yang cepat. Kedua, Indonesia belum siap untuk itu. Kalaupun harus mengambil organ tubuh dari mayat, maka harus ada UU yang mengaturnya. "Susahnya kita tidak memiliki pengaturan yang jelas soal jual beli organ tubuh. Kita juga belum memiliki UU yang mengatur tentang bank organ. Dokter yang melakukan transplantasi ginjal misalnya, dia tidak mengetahui apakah ginjal itu dikomersialkan atau untuk tujuan kemanusiaan, sebab tidak ada aturan yang jelas," kata Djaja. Dalam UU kesehatan No 23 tahun 1992 disebutkan bahwa pendonor tidak berhak mendapat kompensasi apa pun dari organ yang diberikan kepada resipien. Namun antara pendonor dan resipien terdapat perantara yang bertindak sebagai makelar.
Djaja juga menceritakan pengalamannya saat bertugas di Kalimantan Barat pada tahun 1990. Di sana dia melihat ada ratusan bayi yang dijual ke Malaysia untuk diambil organnya. Menurutnya, organ bayi yang ditransplantasi jauh lebih baik dari organ dewasa. Organ bayi itu mampu melakukan penolakan yang minim.
LBH Kesehatan sendiri telah mensinyalir adanya jual beli bayi. Bayi-bayi tersebut dijual dengan harga Rp 3-5 juta. Oleh si pembeli bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah berusia tujuh tahun, dia dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Baik dr Djaja maupun LBH Kesehatan meminta agar pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan merombak PP No 18 tahun 1981 dan merevisi UU Kesehatan No 23 tahun 1992.
1 comment:
haduhhh,, tega banget sih yang jual-jual organ bayi... mending sini kasih gw aja deh, biar gw rawat.
gw sebagai warga Indonesia yang sangat peduli dengan anak, amat sangat mengecam perbuatan segelintir orang-orang yang memanfaatkan tubuh orang lain hanya demi Uang.
Oh, Come on,, bisa kerja yang halal gitu kan ? Semoga pemerintah bisa lebih aware sama hal-hal beginian, gak cuman ngurusin bensin, kampanye and bla bla bla.
Post a Comment