Organ Human Trafficking (penjualan organ manusia) merupakan salah satu perilaku yang sangat tidak berperikemanusiaan. Melalui ini masyarakat diharapkan kesadarannya untuk berperan aktif sebagai Wajib Lapor agar tindakan ini cepat ditindak lanjuti oleh aparat kepolisian dan pihak HAM dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan rakyat miskin ditanggung oleh negara yang berlaku di Indonesia dalam upaya meminimalisasikan tindakan biadab tersebut.
Jkt, 11/o1 --- Berbagai cara dilakukan para mafia jual-beli organ tubuh untuk mendapatkan keuntungan. Modus yang digunakan pun semakin beragam. Hal ini dipicu oleh keuntungan fantastis yang bisa didapatkan untuk penjualan sebuah organ tubuh manusia.
Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, Kamis (9/01) di Jakarta, modus penjualan organ tubuh semakin beragam dewasa ini. Ia menuturkan salah satunya adalah motif pencurian organ tubuh lewat adopsi.
Hal ini terkait dengan praktek jual-beli bayi yang marak terjadi. Bayi-bayi itu dijual dengan harga Rp 3 juta-Rp 5 juta rupiah. Oleh si pembeli, bayi-bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah beranjak remaja, kemudian mereka dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah.
Data Lembaga Cegah Kriminal Indonesia (LCKI) mengungkapkan Kejahatan terhadap anak Indonesia meningkat menjadi nomor tiga di dunia. “Kalau kita mendiamkannya, maka kita membiarkan masa depan bangsa ini hancur di tangan sindikat kriminalitas pada anak-anak,” kata ketua LCKI Da’I Bachtiar. Selain itu Ia menyebutkan para mafia jual-beli organ tubuh juga menggunakan motif memanfaatkan organ tubuh tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri.
Data Jurnal kesehatan The Lancet menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai US$ 15.000. Sepotong hati manusia dihargai US$ 130.000, sama dengan harga sebuah jantung. Sedangkan harga paru-paru bisa mencapai US$ 150.000.
Tinggi rendahnya harga organ tubuh manusia bergantung pada jumlah permintaan. Makin besar permintaan, maka makin melambung pula harganya. (Meilody)
Jkt, 11/01--- Memperdagangkan organ dengan cara apapun dan dengan jalan apapun hukumnya adalah haram serta merupakan tindakan kejahatan bagi pelakunya, demikian yang di tuturkan oleh Anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan) DPR Abdul Aziz Arbi,maraknya aksi perdagangan ogan manusia yang d di luar negri sudah mulai masuk ke Indonesia,kasus jual beli organ manusia ini sungguh menodai hati nurani, bahkan termasuk kejahatan, karena orang dengan sengaja menjual organ tubuh orang lain kepada pihak yang membutuhkan dengan bayaran menggiurkan. “Saya khawatir kasus seperti ini ada mafianya. Dalam Agama Islam, hal itu dilarang keras,” kata Abadul Azis.
Mendonorkan atau memberikan organ manusia sesungguhnya perbuatan mulia karena menolong kehidupan manusia, tetapi yang tidak di perbolehkan atau diharamkan adalah jual beli organ, sebenarnya manusia tidak berhak memberikan atau menjual organ manusia karena organ yang ada di tubuh manusia bukan milik dirinya sendiri “organ itu kita tidak membeli atau di berikan tetapi di ciptakan tuhan untuk kelangsungan kehidupan manusia “demikian ujar Abdul Aziz.
Bagi yang memerlukan organ manusia, hal ini sudah diatur oleh negara untuk tidak di jual belikan sehingga transplantasi di perbolehkan sepanjang tidak membahayakan kita serta tidak ada unsur komersialisasi. “Jadi yang membuat perbuatan transplantasi ini haram apabila terjadi jual beli organ atau komersialisasi organ yang bukan miliknya sendiri” tambahan pidato Abdul Aziz.
Dalam pasal 33 ayat 2 di nyatakan transplantasi organ suatu jaringan tubuh serta tranfusi darah hanya tujuan kemanusiaan dan di larang untuk komersialisasi. ketentuan pasal ini belum ada penjelasan yang terperinci sehingga untuk mengatasi pesoalan ini abdul aziz mengusulkan agar merevisi UU tentang kesehatan mengenai”komersialisasi tubuh”. (maria)
Jkt, 22/11 – Data yang dipublikasikan The China International Transplantation Network Assistance Center, Shenyang, Cina, Senin lalu, mengungkapkan bahwa harga sebuah ginjal mencapai US$ 62.000. Sedangkan jurnal kesehatan The Lancet menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai US$ 15.000. Sepotong hati manusia dihargai US$ 130.000, sama dengan harga sebuah jantung. Sedangkan harga paru-paru bisa mencapai US$ 150.000. Tinggi-rendahnya harga organ tubuh manusia berjalan seirama dengan mekanisme pasar: makin besar permintaan, kian melabung pula harganya.
Diperkirakan jutaan orang mengantri untuk mendapatkan transplantasi organ tubuh, seperti jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis yang membutuhkan cangkok ginjal. Di Jepang terdapat 11.000-an penderita gagal ginjal. Penyakit yang sama menjangkiti 66.000 warga Brasil. Semuanya membutuhkan cangkok ginjal. Jumlah pasien itu tak sebanding dengan jumlah donor yang merelakan organnya dipakai orang lain setelah sang donor meninggal. Penduduk yang paling banyak bersedia menjadi donor ada di negara-negara Eropa, yang rata-rata 12% penduduknya memiliki kartu donor. Timpangnya jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan dengan jumlah pasien inilah yang kemudian menyuburkan praktek ilegal jual-beli organ tubuh.
Modus jual-beli organ tubuh manusia itu sangat beragam. Ada yang menjual organ tubuh lantaran terdesak kebutuhan ekonomi. Banyak pula yang dilakukan dengan cara menipu sang donor. Bahkan ditengarai ada kasus pembunuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban, kemudian dijual.
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan pernah melansir dugaan praktek jual-beli bayi untuk dimanfaatkan organ tubuhnya. Bayi-bayi itu dijual Rp 3 juta-Rp 5 juta. Oleh si pembeli, bayi-bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah beranjak remaja, kemudian mereka dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. (ellen/fifi)
Jkt, 21/11-- Pro-kontra fenomena perdagangan ginjal di dunia sudah sejak lama terjadi. Setiap negara mempunyai peraturan perundang-undangan yang berbeda sesuai dengan sudut pandang pemikiran masing-masing.
Di Indonesia, seperti diatur dalam pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan No 23/1992, ahli hukum kedokteran RSCM, dr. Herkutanto, SH, menjelaskan transplantasi organ termasuk cangkok ginjal dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan tujuan komersil. Di sela-sela perbincangan sabtu siang di Jakarta, Herkutanto juga menjelaskan tentang pasal 34 Undang-Undang Kesehatan No 23/1993 yang mengatur transplantasi jaringan tubuh. Dijelaskan, transplantasi hanya boleh dilakukan tenaga-tenaga kesehatan yang memang berkompeten, juga disyaratkan adanya persetujuan dari donor maupun ahli waris.
Bertolak belakang dengan Indonesia, di negara Cina ginjal justru dijadikan sebagai devisa negara. Warga negeri tirai bambu dibebaskan untuk menjual organ vitalnya tersebut, bahkan bagi pendonor ada reward dari pemerintah, seperti pemberian pekerjaan hingga asuransi kesehatan. (Duhita)
Penjualan organ amat marak di negara-negara berkembang karena himpitan ekonomi. Jurang sosial antara kaya-miskin jelas tercermin dalam teknologi pencangkokan organ. Teknologi ini jelas tidak berpihak kepada orang miskin, bahkan secara tidak langsung justru amat merugikan banyak orang miskin karena membuka pasar yang luas bagi orang miskin untuk menjual organnya. Kecuali jika alternatif sumber organ ditemukan (misalnya melalui teknologi peminakan sel atau sel tunas, yang masih perlu waktu cukup lama untuk bisa menjadi alternatif yang berarti), sampai kapan pun teknologi ini akan tetap memiliki sifat itu.
Namun bagaimanakah cara memperoleh organ tersebut? Hal ini yang harus diperhatikan. Contoh seperti kasus Mohammad Salim, seorang buruh harian berusia 30 tahun yang menetap di kawasan India. Mohammad diajak oleh seorang lelaki yang tak ia kenal dan menawarkan pekerjaan di New Delhi. Ia dijanjikan bisa kerja di sana selama empat atau lima bulan dan akan diupah 150 rupee seharinya. Makan dan penginapan ditanggung mereka. Mohammad pun langsung setuju dan berangkat bersama lelaki itu. Namun mereka mengambil darah Mohammad dan sesudah itu memberikan suntikan. Langsung saja ia pingsan.
Tengah malam, ketika Mohammad terbangun lagi, ia merasakan sakit yang luar biasa. Perutnya diperban dan mereka mengaku telah mengambil ginjal Mohammad. Lalu mengatakan akan merawat kemudian membebaskannya lagi. Tapi Mohammad dilarang untuk menceritakan hal ini kepada orang lain. Dari kasus ini kita bisa melihat adanya penipuan yang dilakukan satu pihak untuk mendapatkan organ tersebut. Namun Mohammad Salim hanyalah satu diantara ratusan korban skandal perdagangan ilegal organ tubuh.
Selain itu di Indonesia juga terjadi hal yang sama. Contoh, seperti kasus penjualan organ tubuh para TKI yang meninggal di luar negeri tersebut hampir tidak pernah dipermasalahkan, baik oleh pemerintah Indonesia maupun keluarga korban. Keluarga korban pada umumnya dengan perasaan pasrah menerima mayat keluarganya yang "dipaketkan" melalui Bandara Selaparang Mataram, dengan menggunakan pesawat komersial. Keluaga korban tidak pernah tahu menahu kondisi mayat keluarganya yang dikirimkan melalui paket, dengan polosnya keluarga korban menerima kiriman paket itu dan segera menguburkannya.
Kita bisa lihat dari beberapa contoh kasus yang ada, bahwa pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, karena hal tersebut melanggar HAM. Meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang harus diperhatikan dalam pencangkokan organ : • Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa seseorang. • ada persetujuan dari pemilik organ asli • ada persetujuan dari donor
Namun sayangnya beberapa alasan tersebut justru malah disalah gunakan. Dijadikan bisnis illegal yang tidak lagi memandang HAM. Aksi ini menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan organ manusia, ada yang dengan cara menipu si korban, mengambil paksa, dan sebagainya.
Cara penipuan yang biasanya dipakai oleh sipelaku. Dan ini tidak bisa dibiarkan karena sudah melanggar HAM dan merupakan tindak kejahatan. Bentuk trafficking ini tidak boleh dibiarkan terus menerus, pemerintah maupun keluarga korban perlu melakukan upaya-upaya hukum, sehingga kematian para TKI di luar negeri yang seringkali disebutkan sebagai korban kecelakaan lalulintas tidak sia-sia. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pengetatan hukum, seperti memberikan vonis yang sesuai dengan perbutannya, karena kasus skandal seperti Mohammad dan pengambilan paksa organ tubuh ini, bukan yang pertama. Tetapi masih banyak lagi korban di luar sana yang mengalami hal serupa. Maka dari itu perlu dihimbau kepada masyarakat agar melaporkan kepada pihak kepolisian apabila terjadi hal seperti ini. Karene kalau tidak, kasus perdagangan organ manusia ini akan semakin banyak memakan korban. Oleh sebab itu kita sebagai masyarakat juga perlu waspada.
Jkt, 22/11- Anggota Sub Komite Trafficking, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Any Suryani H, SH. MHum menyatakan, penjualan organ tubuh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang meninggal dunia dan dikembalikan dari luar negeri merupakan kecenderungan atau tren baru bentuk perdagangan gelap manusia (trafficking).
Perdagangan gelap organ manusia lagi-lagi menimpa seorang wanita muda asal NTB yang bekerja di negri tetangga. Dari hasil keterangan Anggota Sub Komite Trafficking, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Any Suryani H, SH. MHum dikatakan, penjualan organ tubuh para TKI yang meninggal di luar negeri tersebut hampir tidak pernah dipermasalahkan, baik oleh pemerintah Indonesia maupun keluarga korban.
Keluarga korban umumnya dengan perasaan pasrah menerima mayat keluarganya yang "dipaketkan" melalui Bandara Selaparang Mataram, dengan menggunakan pesawat komersial. Keluarga korban tidak pernah tahu kondisi mayat keluarganya yang dikirimkan melalui paket, dengan polosnya keluarga korban menerima kiriman paket itu dan segera menguburkannya. "Padahal dari beberapa kasus yang pernah dilakukan terhadap kiriman mayat TKI yang meninggal di luar negeri tersebut sudah tidak utuh lagi, sejumlah organ tubuh korban sudah hilang seperti mata dan ginjal yang kemudian digantikan dengan kapas," katanya.
Menurutnya, bentuk trafficking baru tersebut tidak boleh dibiarkan terus menerus, Pemerintah maupun keluarga korban perlu melakukan upaya-upaya hukum, sehingga kematian para TKI di luar negeri yang seringkali disebutkan sebagai korban kecelakaan lalu lintas tidak sia-sia. Pemerintah perlu mendesak perusahaan pengerah tenaga kerja ke luar negeri itu untuk mendapatkan perlindungan hukum, Terlebih jangan sampai organ tubuh mereka diambil dan diperjualbelikan.
"Disamping itu, keluarga korban harus memiliki keberanian untuk membuka peti jenazah yang dikirim melalui paket di Bandara tersebut, sebab dengan dukungan bukti-bukti itulah nanti proses hukum dapat ditindaklajuti," ujar Any Suryani. Lebih lanjut Any Suryani yang juga salah satu dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Mataram menyatakan, kecenderungan baru trafficking lainnya adalah perekrutan penari-penari tradisional, dengan berbagai janji muluk akan mendapat pekerjaan dan upah yang menggiurkan.
"Kedua bentuk trafficking tersebut merupakan hal baru terjadi di daerah ini, disamping ada sepuluh bentuk traffiking yang lazim dilakukan," katanya. Kesepuluh bentuk trafficking itu antara lain, pengadopsian anak yang tidak prosedural, perkawinan kontrak, pelibatan anak-anak dalam perdagangan obat-obat terlarang, mempekerjakan anak di Jermal atau perkebunan, eksploitasi seks dan paedofilia. Pornografi perempuan dan anak, perdagangan perempuan dan anak untuk kerja paksa ataupun perbudakan, memperkerjakan perempuan dan anak untuk kerja paksa, mempekerjakan perempuan dan anak dalam kerja seks atau kegiatan pelacuran. ( windhi)
Surabaya, 28/11- Suatu siang di terminal Joyoboyo di seputar trem gang Kelinci, Novi (16th) bersama beberapa teman perempuannya bekerja di dalam bis-bis kota jurusan Bungurasih-Perak dari pagi sampai pukul tiga sore. Siapa sangka pada malam harinya Novi dan teman-temannya harus menjadi pelacur-pelacur cilik yang khusus melayani orang-orang seputar Joyoboyo.
Biasanya langganan mereka adalah sopir bemo, kenek, tukang becak, dan preman setempat. Dengan uang setoran perhari 35.000, Novi dan teman-temannya hanya mendapat uang 5.000 rupiah saja tanpa pesangon atau tips dari orang yang memakai mereka. Setoran itu dikelola oleh preman Joyoboyo. Ancaman fisik pun sering dialami mereka, tak jarang tubuh mereka dipenuhi oleh lebam-lebam biru bila uang yang mereka berikan kurang. Belum lagi perlakuan dari pelanggan yang kadang tak layak, harus mereka terima.
Novi adalah salah satu gambaran anak jalanan yang konon menurut survey mencapai sekitar 5 ribu lebih. 10% diantaranya adalah anak perempuan yang memiliki resiko bahaya lebih berat dan memerlukan perhatian khusus.
Seperti yang diungkapkan oleh Desti Murdijana (1998), tidak jarang anak perempuan jalanan yang terlanjur hamil, memilih menyelesaikannya dengan cara aborsi yang jauh dari kelayakan medis dab cebderung mengabaikan keselamatan jiwa. Pada situasi tertentu mereka juga rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS ataupun penyakit menular lainnya seperti Hepatitis C, TBC dsb.
Pengalaman lain menyebutkan anak-anak jalanan di pusat kota terutama di kota-kota besar mengalami hal serupa dengan tingkat bahaya yang lebih tinggi. Mereka umumnya adalah ABG dengan usia berkisar antara 14-18 tahun. Keberadaanya di jalanan tampak berbeda dengan anak jalanan lain. Menarik, cantik dan pandai bergaul namun kenyataannya mereka sangat tergantung pada obat-obat terlarang (naza) semisal ineks, shabu-shabu, putaw (heroin), dan extacy. Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seperti tas, sepatu, baju, make up, dan naza tersebut mereka terpaksa bekerja sebagai pelacur jalanan dengan tarif yang lebih mahal daripada tarif di lokalisasi yaitu minimal 150 ribu dibanding 50 ribu pershort time.
Beberapa faktor penyebab mereka terjerumus dalam dunia pelacuran jalanan adalah faktor ekonomi, tekanan keluarga dan kekerasan/ penyalahgunaan seks. Alasan itu yang membuat mereka lari dari rumah dan terperosok dalam dunia obat yang gampang didapati di pusat keramaian seperti Diskotik dan Mall. Disinyalir di tempat-tempat seperti inilah sekelompok pemuda tampan berduit akan menerima dengan tangan terbuka keberadaan mereka.
Kondisi buruk juga dialami mereka sebagai pendatang baru seperti yang dialami Rini (16th) asal Batam, pertama kali minggat langsung ke Delta Plasa, Surabaya tempat berkumpulnya pemuda tampan yang menurutnya adalah teman-teman yang mengerti masalahnya. Dengan alih perlindungan, kasih sayang dan persaudaraan Rini akhirnya diperawani oleh salah satu pemuda dalam kelompok Delta Plasa, sampai akhirnya hampir semua pemuda dalam kelompok tersebut pernah mencoba tubuhnya. Sampai saat ini Rini telah menjadi bagian dari penjaja seks di jalanan bersama anak-anak perempuan lainnya. Akibatnya anak-anak perempuan yang dijajakan tersebut menjadi bagian dari kebutuhan obat terlarang yang keberadaannya dikendalikan oleh sekelompok pemuda tadi.
Kondisi dan Masalah yang terjadi Dengan Anak Dalam Bekerja
Kejadian-kejadian memprihatinkan terjadi selama mereka di jalanan sebagai pelacur. Kejadian pelecehan, kekerasan, sakau, overdosis, penggerebekan bahkan penipuan oleh para tamu juga terjadi.
Pelecehan seksual seringkali dilakukan oleh oknum polisi, ketika penggerebekan berlangsung mereka tidak diinterograsi tetapi malah diminta untuk ngeseks gratis. Jika mereka menolak mereka diancam akan ditembak atau dibuang ke rumah tahanan perempuan. Kalau tidak mereka juga dirayu, dipegang-pegang buah dadanya dan kadang para polisi tersenut meminta obat yang biasa mereka pakai bersama. Beberapa diantara mereka tidak diterima kembali oleh keluarga, karena keluarga mereka terutama adik-adiknya mendapat hinaan dikampung mereka. Hal ini terjadi ketika berita mengenai hal ini muncul di koran harian, sekaligus wajah dan nama mereka. Sangat tidak etis memang namun ini benar-benar terjadi.
Pemukulan, pemaksaan, dan penusukan terjadi apabila anak-anak dirasa melanggar peraturan jalanan, misal menerima tamu tanpa germo, pindah germo tanpa perjanjian dan kadang dilakukan oleh pacar sekaligus merangkap germo apabila sang pacar cemburu, melanggar jam booking dan setoran kurang.
Puncak kemarahan, ketakutan dan kefrustasianpun mereka keluarkan ketika sedang overdosis. Tidak mau ditolong, dan mencercau ingin mati adalah hal biasa yang dihadapi yayasan ALIT, yayasan yang seringkali menkonseling anak-anak jalanan perempuan di Surabaya. Menurut mereka selama ini belum ada satupun dari anak-anak melakukan pengobatan atas ketergantungan terhadap obat ini. Mereka hanya membantu melakukan konseling ketika mereka sedang tenang, dan hal ini ternyata efektif untuk membantu psikologis mereka dan mengurangi frekuensi pemakaian drug.
Sampai saat ini keberadaan anak-anak perempuan yang dilacurkan semakin tumbuh pesat bersama dengan menjangkitnya jenis naza yang makin mudah mereka peroleh dari lokasi mereka mangkal.
Melihat latar belakang diatas rasanya sangat perlu diadakan penanganan khusus anak-anak perempuan yang dilacurkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul seperti terlanggarnya hal perlindungan anak, hak tumbuh kembangnya, hak partisipatifnya, bahkan hak kelangsungan hidupnya karena ancaman PMS – HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.
Tentu saja kita tidak bisa saling menuding siapa memperkerjakan siapa dan siapa diperkerjakan siapa kalu ini menjadi titik masalah pekerja anak. Bukan berarti kita terus berhenti ketika kita tidak mampu menemukan siapa memperkerjakan siapa, tetapi harus lebih dalam memahami akar persoalan yang muncul dari sebab usabab kenapa mereka dilacurkan.
Menyimak pemberitaan tentang jual beli bayi, bayangan yang muncul biasanya mengarah pada banyaknya orang tua yang memiliki kerinduan menimang keturunan. Gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Paling tidak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan mensinyalir adanya praktek jual beli bayi semata-mata untuk memanfaatkan organ tubuhnya.
Bayi-bayi dijual dengan harga Rp 3-5 juta. Oleh si pembeli bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Ada dugaan, setelah beranjak remaja ia dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Kalau dugaan itu sungguh terjadi, benar-benar sangat memprihatinkan. Praktek jual beli organ tubuh juga diindikasikan dari cerita Manimbul Sitorus yang istrinya mengalami gagal ginjal. Istri Manimbul Sitorus, Nurbaya Sinambela (38) meninggal dunia tanpa penanganan yang baik di rumah sakit. Nurbaya Sinambela dirawat di ruang Cempaka kamar 4 RS Persahabatan pada 20 Mei 2003 karena menderita gagal ginjal.
Awalnya, setelah menjalani perawatan selama 2 minggu di RS, ibu 3 anak ini diizinkan pulang. Baru 4 hari berada di rumah, penyakitnya kambuh lagi. Manimbul kemudian membawa istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo pada 12 Juni 2003. Dokter di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit tersebut setelah melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa Nurbaya mengidap penyakit gagal ginjal. Keesokan harinya sekitar pukul 01.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB ada seorang dokter berinisial N yang bertugas di ruang UGD menghampiri kakak ipar Manimbul. Saat itu dia sedang tidak berada di ruang UGD karena sedang ke apotik membeli obat untuk suaminya. Lewat kakak iparnya, Manimbul dipertemukan dengan dokter N.
Dalam pertemuan tersebut dokter N mengatakan bahwa istrinya hanya bisa ditolong dengan dua cara. Pertama, istrinya ditolong dengan cara dioperasi yang memakan biaya Rp 500 juta. Kedua, cuci darah. Menurut dokter N biaya cuci darah lebih mahal dari operasi. Cuci darah dilakukan dua kali seminggu dan sekali cuci darah memakan biaya Rp 700 ribu. Bila kondisi istrinya sudah membaik, cuci darah bisa dilakukan seminggu sekali dengan biaya Rp 500 ribu dan cuci darah ini dilakukan seumur hidup.
"Bapak punya uang Rp 500 juta, gak. Kalau ada, kita akan melakukan operasi ginjal sehingga istri bapak bisa sembuh. Bapak boleh pilih mau operasi atau cuci darah," ujar Manimbul menirukan ucapan dokter N. Warga Kampung Rawadas Jakarta Timur ini berembuk dengan keluarga. Hasil rembukan dengan keluarga, istrinya harus dioperasi. "Belum sempat menjalani operasi, istri saya meninggal dunia pada 15 Juni 2003 tanpa adanya upaya apa-apa dari pihak rumah sakit," lanjutnya kepada SH. Sekretaris Pendiri LBH Kesehatan Jan Pahala mengatakan dalam kasus Manimbul ini, memang sudah ada indikasi jual beli organ tubuh dalam hal ini ginjal.
"Dokter N menawarkan suami pasien, apakah istrinya dioperasi atau cuci darah. Operasi dengan biaya Rp 500 juta selain melakukan transplantasi juga menggantikan ginjal yang rusak dengan ginjal baru. Otomatis sudah ada indikasi jual beli organ tubuh manusia. Di Cina saja harganya hanya 23 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 225 juta," ujarnya. Pahala sendiri tidak mempersoalkan adanya transplantasi ginjal, asalkan hal itu tidak dikomersialkan.
Menurutnya, donor organ tubuh bisa dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan bukan untuk dikomersialkan. Sulitnya, antara pendonor dengan resipien ada perantara. Perantara inilah yang biasa bertindak sebagai makelar menjual organ tubuh manusia guna memperoleh keuntungan yang besar. Hal itu terjadi karena pemerintah Indonesia belum memiliki pengaturan hukum yang jelas. "Orang-orang seperti dokter N hanya memanfaatkan celah hukum. Ketika negara melarang hal itu, orang bisa lari ke Tiongkok atau India untuk membelinya," lanjut Pahala.
Hal senada diakui oleh dr Djaja S Atmadja, Staf Pengajar Bagian Forensik Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Mereka yang bertindak sebagai makelar bisa melibatkan para medis seperti dokter dan juru rawat, bisa juga berasal dari non medis seperti tentara dan sebagainya. Menurutnya, jual beli organ ini sebetulnya sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1990. Djaja menambahkan, pasien yang menderita ginjal sangat banyak, namun ginjal yang tersedia sedikit. Sementara mengambil ginjal dari mayat tanpa identitas juga tidak dapat dilakukan karena ada keterbatasan. Pertama, untuk mengambil salah satu organ tubuh dari mayat tanpa identitas, pihak medis harus memperoleh ijin dari ahli waris.
Hal itu memerlukan waktu yang lama, sedangkan organ yang diambil memerlukan waktu yang cepat. Kedua, Indonesia belum siap untuk itu. Kalaupun harus mengambil organ tubuh dari mayat, maka harus ada UU yang mengaturnya. "Susahnya kita tidak memiliki pengaturan yang jelas soal jual beli organ tubuh. Kita juga belum memiliki UU yang mengatur tentang bank organ. Dokter yang melakukan transplantasi ginjal misalnya, dia tidak mengetahui apakah ginjal itu dikomersialkan atau untuk tujuan kemanusiaan, sebab tidak ada aturan yang jelas," kata Djaja. Dalam UU kesehatan No 23 tahun 1992 disebutkan bahwa pendonor tidak berhak mendapat kompensasi apa pun dari organ yang diberikan kepada resipien. Namun antara pendonor dan resipien terdapat perantara yang bertindak sebagai makelar.
Djaja juga menceritakan pengalamannya saat bertugas di Kalimantan Barat pada tahun 1990. Di sana dia melihat ada ratusan bayi yang dijual ke Malaysia untuk diambil organnya. Menurutnya, organ bayi yang ditransplantasi jauh lebih baik dari organ dewasa. Organ bayi itu mampu melakukan penolakan yang minim.
LBH Kesehatan sendiri telah mensinyalir adanya jual beli bayi. Bayi-bayi tersebut dijual dengan harga Rp 3-5 juta. Oleh si pembeli bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah berusia tujuh tahun, dia dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Baik dr Djaja maupun LBH Kesehatan meminta agar pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan merombak PP No 18 tahun 1981 dan merevisi UU Kesehatan No 23 tahun 1992.
Ingin memperbaiki nasib. Tapi derita yang didapat. Ada yang disiksa, banyak yang tertipu.
Ida Maulida hanya bisa meratapi nasib. Wajah dan dua telapak kakinya masih lebam karena pukulan. Luka bekas sundutan besi panas juga menganga di kedua lengannya. Kepalanya pun kini dihiasi sejumlah jahitan.
Badannya kurus, tatapannya kosong. Jika mengingat kekejaman yang mendera, Ida tak mampu berbicara. Air matanya menetes mengabarkan segala nestapa. "Saya menyesal ke sana kalau tahu bakal disiksa," katanya saat ditemui Voice of Human Rights di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu.
Mimpi buruk itu berawal ketika Ida bekerja sebagai pembantu di Arab Saudi. Tugasnya sehari-hari menyapu dan mengepel lantai. Sayangnya dia bekerja pada majikan yang ringan tangan. "Kalau salah dikit saja, dipukul pakai apa saja yang ia pegang," kata gadis berumur 17 tahun asal Pekalongan ini.
Ida mengalamai siksaan itu sejak pekan-pekan pertama bekerja di Negeri Petrodolar itu. Ia tak tahan hidup dalam siksaan, tapi tak kuasa kabur dari "neraka" itu. "Aku cuma bisa menangis," katanya.Setiap kali habis menyiksa, majikan itu selalu mengobati luka Ida. Mereka juga selalu membayar gaji bulanan Ida 600 riyal, setara Rp 1,2 juta. Anak kedua dari lima bersaudara ini tidak betah bekerja di rumah majikannya. Ia terus merengek minta dipulangkan. Setelah hampir enam bulan bekerja, akhirnya Ida diizinkan Ida pulang ke tanah air. Dia dibelikan tiket pesawat pulang-pergi agar mau kembali. "Saya kapok, enggak mau balik lagi. Saya mau kerja di rumah saja," ujar Ida.
Kini Ida sudah di tanah air. Tapi kantongnya kosong. Gaji dari majikannya harus diserahkan kepada calo yang mengirimnya ke Arab Saudi, PT Berkayu. Berdasarkan perjanjian dengan perusahaan yang berdomisili di Yogyakarta itu, Ida harus menyerahkan gajinya selama satu setengah tahun. Katanya, uang itu merupakan pengganti ongkos perjalanan dan pendidikan. Padahal enam bulan silam, Ida berangan-angan bekerja ke luar negeri agar bisa membantu ekonomi keluarganya. "Makan sehari-hari nggak cukup," katanya. Bapaknya, Marjuk, hanya bekerja serabutan. Kadang berdagang kecil-kecilan. Kadang menjadi buruh bangunan. Sedangkan ibunya hanya ibu tumah tangga. Ida meminta restu kepada ibunya untuk mengadu nasib.
Menurut Miftah, aktivis SBMI, kasus penganiayaan dan penipuan calon tenaga kerja terjadi karena perlindungan pemerintah amat lemah. Ia juga menyalahkan minimnya peran pemerintah dalam merekrut calon tenaga kerja. "Posisi tawar mereka lemah."
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Muhammad Jumhur Hidayat, mengakui banyaknya kekerasan yang dialami buruh migran karena proses penempatan kurang sempurna. "Kalau mereka harus dilatih selama 21 hari, ya dilatih selama 21 beneram, jangan hanya tiga hari. Kami sedang menertibkan," kata Jumhur.
Siksaan membuat buruh migran tak hanya mengalami penderitaan fisik, tapi juga psikis. Menurut data International Organization for Migration (IOM), Maret 2005 hingga Juli 2006 terdapat 1.291 orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah tersebut 24% mengalami depresi, 22% mengalami gangguan mental, dan 19% sakit jiwa.